Powered By Blogger

A Boy from Karo Land

Sabtu, 04 Desember 2010

Waktu

Tersebut dalam syair hikmah: “Waktu laksana
pedang. Siapa yang tak mempedulikannya akan
ditebas.” Inilah syair ideal tentang waktu. Syair
ini mengandung apresiasi dan pandangan yang tepat,
bagaimana harus menyikapi sang waktu. Ia terus
berlalu, tanpa bisa dihentikan. Saatnya nanti, sang
waktu akan mengadili kita. Hanya ada dua ekspresi
dari menyikapi waktu: bahagia atau menyesal.
Waktu. Semua kita mungkin punya pandangan
yang berbeda tentang waktu. Sebuah pepatah lain
yang sedikit bersebrangan menyebut, “The time is
money.” Pepatah ini, datang dari barat. Sementara
syair hikmah di atas dari timur. Pepatah barat itu,
cenderung menggiring kita pada pandangan
konsumtif-materialistis. Sang waktu terlalu kerdil bila
hanya diidentikkan dengan uang.
Sementara itu, ada spirit yang tinggi pada syair
hikmah di atas. Siapa yang tak memanfaatkan waktu
dengan positif dan optimal, akan menuai kerugian
dan bencana.
“Sungguh hidup terus diburu, berpacu dengan
waktu,” begitu kata Ebiet G. Ade. Kita semua,
memang, sedang berada di pusaran waktu yang
terus berputar menuju titik akhir. Untuk memahami
pusaran waktu, manusia menghitungnya dengan
kalender.
Berbagai bangsa di belahan dunia, punya
kalendernya masing-masing untuk menghitung hari.
Bahkan, berbagai suku di Tanah Air juga punya
kalendernya sendiri. Dari kalender itu, bisa diketahui
siklus masa panen dan siklus bencana. Semuanya
didasari pada perhitungan kearifan bahwa usia bumi
pasti ada batasnya.
Dan yang menjadi fenomenal, ketika trailer film
2012 karya Roland Emmerich diputar serentak dan
jadi perbincangan luas, baik astronom, budayawan,
agamawan, sampai tukang koran. Film itu diinspirasi
dari manuskrip berupa kalender kuno suku Maya yang
ditemukan di reruntukan di Meksiko. Suku Maya
sendiri hidup sekitar 1800 SM di Meksiko Selatan.
Suku Maya dikenal ahli ilmu matematika dan
astronomi. Mereka membuat kalender panjang yang
mencapai 5.126 tahun. Bila perhitungannya
dikonversi ke kalender modern, maka kehidupan di
bumi berhenti pada 21 Desember 2012. Film 2012
menciptakan kehancuran di bumi. Lalu, mendramatisir
dengan memunculkan kehidupan baru setelah 2012
dan waktu diputar mundur menjadi 1901.
Apa sesungguhnya yang terjadi pada 2012? Suku
Maya menghentikan kalendernya hingga 2012. Ini
suatu kelemahan. Sementara kalender modern, baik
yang mendasarkan pada perputaran matahari atau
bulan terus bergerak. Roland Emmerich memanfaatkan
berhentinya kalender Maya dengan memunculkan
bencana dahsyat seperti kiamat. Padahal, bencana
itu tak ada dalam ramalan Maya.
NASA (badan antariksa Amerika) dan ESA (badan
antariksa Eropa), meneliti bahwa yang mungkin terjadi
adalah badai matahari menjelang 2012 nanti. Ada
banyak bintik hitam dan putih di permukaan matahari.
Itu tanda ledakan hebat yang besarnya 6000 kali lipat
dari ledakan bom atom di Hirosima. Lembaga Antariksa
dan Penerbangan Nasional (Lapan) juga memprediksi
akan ada badai matahari yang menyerang bumi pada
sekitar 2012. Badai itu, akan merusak jaringan
komunikasi di seluruh dunia.
Lalu, bagaimana kacamata teologi melihat ini?
Dalam teologi samawi (Islam, Kristen, Yahudi),
memang, ada ajaran untuk mengimani hari akhir.
Nubuwat yang kita terima, tidak menyebut tanggal,
bulan, dan tahun, kapan bumi ini akan tutup usia. Yang
ada hanya prediksi berbagai peristiwa ganjil pada
suatu kurun menjelang kiamat. Biarlah akhir hayat bumi
jadi wilayah prerogatif Tuhan.
Namun, lepas dari semua kontroversi itu,
berbagai kalender yang dibuat dari tradisi ilmiah
maupun tradisi etnik, tetap bermuara pada
perhitungan kearifan teologis bahwa kiamat pasti
tiba. Seperti teori yang dikemukan para astronom,
bumi kita seperti balon yang terus ditiup dan terus
ditiup hingga membesar. Lalu, meledak. Begitulah
bila sang waktu jadi perbincangan. Dikejar, dia terus
berlari. Dihentikan, dia terus berputar.
Hanya Sang Pencipta waktu yang bisa
mengendalikan, kapan saatnya waktu berhenti. Kini,
kita sudah memasuki fajar 2010. Jatah usia bumi pun
terus berkurang. Kita sambut pergantian tahun
dengan kearifan. Dengarlah syair Opik ini: “Bila waktu
telah berhenti, teman sejati hanyalah sepi. Bila waktu
telah berhenti, teman sejati hanyalah amal.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar